Rabu, 31 Desember 2008

Langkah Gontai Bangsaku

Bosan rasanya mendengar ucapan "Seharusnya pemerintah lebih..." atau "Ini disebabkan karena kurangnya dukungan pemerintah...." dan ucapan-ucapan lain yang seolah menyudutkan pemerintah. Pemerintah menjadi kambing hitam untuk menghindari penyudutan nama individu-individu yang seharusnya bertanggungjawab. Padahal kemajuan suatu negara kurang lebih terletak pada Kemandirian Bangsanya.Tengoklah bangsa Cina yang begitu bangga dengan pemerintahannya. Bahkan, ketika dunia mengecam China dengan kebijakannya untuk menyerang Tibet, rakyatnya justru bahu membahu mendukung keputusan pemerintah meski kehidupan mereka tergolong tidak terlalu sejahtera. Ada sesuatu yang abstrak yang biasa disebut dengan nasionalisme di hati mereka. Namun, sepertinya Nasionalisme bangsa Indonesia masih tertidur dibawah semangat dan hasrat regionalismenya. Ketika Liga Nasional masih berlangsung, tidak sedikit kerusuhan-kerusuhan yang terjadi karena tingginya ego yang dipertaruhkan. Apakah pluralisme bangsa yang terdiri dari Orang Madura, Orang Sabang, Orang Papua, Orang Jawa, Orang Sumatera, Orang Halmahera, Orang Pulau Roti dan orang-orang yang menetap di bumi Zamrud Khatulistiwa ini harus memecah nasionalisme kita?
Terucap sebuah pertanyaan dari teman saya :" Eh.. Padahal banyak orang-orang sakti yang bisa terbang, kebal senjata, bisa ngeluarin api, segala macem di Indonesia kayak di film-film gitu. Tapi kenapa Indonesia bisa dijajah ama Belanda, Inggris, Jepang ampe begitu lama ya??". Pertanyaan itu menggelitik sel-sel otak saya untuk berpikir sejenak. Manusia-manusia sakti seperti itu banyak di negeri kita, menurut legenda. Namun, ego mereka juga seharusnya patut diperhitungkan. Berbekal lidah yang lebih tajam dari jarum pentul, para penjajah mengadu domba Manusia-Manusia Sakti itu. Ketika mereka diujung pertarungan dan hampir mati, si Penjajah datang dan menembakan dua buah bulir peluru dari bedilnya. Dan matilah Manusia-Manusia sakti itu.
Alegori di atas mencerminkan sikap bangsa di negeri ini. Bangsa kita hidup dan buang air di atas tanah yang kaya akan sumber daya alam, namun diadu dengan egonya sendiri demi kemenangan mutlak. Padahal, Kayu Kekayaan negeri ini sudah digerogoti oleh rayap-rayap egoisme, budaya luar yang merusak, bahkan oleh bangsa pencuri entah dari mana. Bangsa ini telah digelapkan oleh gemerlap sebuah keberhasilan individu dan mulai melupakan kebersamaan hasil perjuangan para pejuang-pejuang dahulu. Demi kepuasannya, para pengecut yang sudah lama tertidur kembali menghembuskan hasutannya untuk berperang melawan sesama dan menggiring kita pada kehancuran.
Kita masih mempermasalahkan siapa yang bersalah dan bertanggungjawab atas semua ini. Sudah jelas jawabannya adalah kita. Saya, si penulis artikel. Anda, si pembaca. Orang-orang berdasi yang tidur atau terjaga di ruang rapat. Mamang becak yang bermandikan keringat. Bahkan, bayi merah yang baru berkedip dan menghirup udara bebas.
Apa kewajiban kita? Tentu saja kewajiban yang berbeda-beda. Seharusnya, sebagai makhluk-makhluk yang disebut baligh atau dewasa, kita sudah mulai tahu perannya untuk kemajuan negeri ini. Mungkin tulisan ini ditulis tanpa landasan teori dari orang-orang bergelar, dan hanya ditulis oleh siswa yang mendapat nilai KKM untuk Pendidikan Kewarganegaraannya pada UAS semester satunya. Namun, tidak ada salahnya mencoba meresapi dan merefleksi diri kita semua. Meski hanya memulainya dengan memungut secarik sampah kecil di pinggir jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar