Sabtu, 26 November 2011

Tentang Langit dan Saya

Semenjak kuliah, saya jadi jarang liat langit. Bukan gak ada kerjaan sih, tapi kadang melihat langit itu bisa menjadi hikmah sendiri ketika kita mau sedikit merenung. Sumpek dan penuhnya atas tanah kadang membuat saya menengok langit sebentar, langit yang cerah begitu terhampar luas. Kosong seperti padang rumput yang dilukis biru muda dan mengajak kita berlompat ria untuk berbahagia seperti anak kecil yang mengejar gelembung balon. Langit, tanpa disadari, diciptakan untuk memberi manusia pelajaran. Tentang harapan, kenangan, hingga kematian.

Langit fajar

Belajar di SMA dengan sistem modern Islamic boarding school mengharuskan saya untuk shalat berjamaah lima waktu, termasuk shalat shubuh. Pada masa ‘dibentuk’ itulah saya sering menikmati langit fajar dengan siluet jingga yang berasal dari bola merah kecil yang perlahan menyisir langit gelap hingga terbit seutuhnya. Baris jingga yang terbit itu membawa kehangatan tersendiri dari ufuk timur. Langit fajar memberikan pelajaran tentang harapan, bahwa Allah memberikan harapan diterbitkan setiap harinya. Bahwa setelah saat tergelap dari fase langit akan diikuti oleh semburat jingga yang perlahan menerangi bumi. Bagi mereka yang menikmati langit fajar sesudah shubuh dan bagi mereka yang tak lelah menanti harapan setelah saat-saat tergelapnya.

Langit senja

Siluet jingga yang lebih muda dari langit fajar sering saya nikmati sebelum shalat maghrib. Langit biru menjadi merah yang berpusat pada bola yang perlahan beristirahat di ufuk barat cakrawala. Bola merah itu menarik cahayanya agar mata kita bisa menemui fase yang lebih cocok untuk istirahat. Seperti selimut yang ditarik, langit senja pun perlahan menarik segala kenangan seharian. Senja menjadi penutup hari, baik hari yang cerah, panas, mendung ataupun hari yang dihabiskan dengan istirahat penuh. Senja menjadi pelajaran bahwa suatu saat hidup kita akan usai. Manusia akan menemui senjanya untuk beristirahat kekal setelah letih semasa hidup.

Langit malam berbintang

Ayahnya Simba di film Lion King bilang bahwa para pendahulu yang baik akan menjadi titik terang di langit malam. Saya bukan tipe orang yang bisa mengobrol banyak hal dengan menghabiskan waktu dibawah kanvas gelap bertitik banyak dan terang. Namun, sesekali pada momen-momen terindah bersama sahabat, saya menyempatkan menengok langit malam dan biasanya sedang berbintang cerah. Di kesempatan yang lain atau momen indah yang lain, saya pun menyempatkan untuk menengok langit malam dan kenangan indah, terutama bersama sahabat, kembali dimainkan lewat potongan-potongan memori hingga mengukir senyum tersendiri. Pada saat perjalanan, saya pun menyempatkan menengok langit lewat jendela bus atau kereta dan kehangatan dari momen indah bersama sahabat pun menemani sisa perjalanan saya.

Langit siang pun selalu berkesan untuk dilihat ketika kita tidak menatap langsung si bola kuning yang tengah bersinar tepat di atas kepala dengan teriknya. Hamparan kanvas biru muda dengan balutan kapas tebal maupun tipis yang beriring lambat menaungi segala sesak bumi sejak dahulu. Langit menyaksikan kelahiran, kebahagiaan, duka hingga kematian. Langit tanpa dinding tak pernah lelah menopang segala jenis kehidupan dibawahnya walaupun justru ia disakiti dengan cara dilubangi. Langit adalah bentuk hikmah Maha Kuasa bagi mereka yang berpikir.

Dan langit belum lelah menyaksikan saya menghabiskan umur yang merupakan anugerah dari Allah sampai saat ini.


fajar SMA, dapat dinikmati oleh orang yang rajin shubuh :)

courtesy: ust. Afif

Song through this post: Depapepe – Time, makes me feel comfy.

Minggu, 13 November 2011

Pikiran Acak

Talk about feelings, biasanya diserempetkan pada hal-hal yang mengundang ‘cieee’ atau #eeeaaa. Funny, tapi apa perasaan orang sebatas itu doang? Ngelakuin sesuatu yang baik, through social network or even in reality juga gak lepas dari ciee atau eeaa. Padahal mungkin ada maksud yang lebih besar dari itu. Maksud menjaring sahabat, memperluas pertemanan. Karena ya, sampai sekarang saya masih nganggep hubungan persahabatan merupakan hubungan dengan kasta tertinggi sebelum ikatan sakral pernikahan. Ya, beberapa orang masih mikir begitu. Dianggap kuno? Selama gak singgungan fisik ya santai aja.

Then talk about society itself. Gak bisa dipungkiri ada grouping dalam tatanan masyarakat. Level apapun itu. People divided into groups, group identified in specialty and specialty requires things. Personally, saya agak tercengang ngeliat specialty dan perbedaan yang bisa dihasilkan tatanan masyarakat. Bahkan untuk komunitas yang pernah bareng-bareng selama tiga tahun di area edukatif sekalipun bisa pecah atau retak karena specialty itu. Jadinya, orang yang mempertahankan biar specialty itu gak ngaruh ke komunitas mereka bakal jadi orang yang berat upayanya karena bisa jadi specialty yang ditemuin orang lain dianggap sebagai identitas mereka di komunitas barunya. Simpelnya: “Eh, sekarang si itu begitu ya.” dan “Ya wajarlah, namanya juga itu.”

People call it growing up. Mungkin proses pendewasaan namanya, dimana proses pertemanan bakal terseleksi dan kita gak bisa bareng semua orang. Iya juga sih. Happiness between adolescence and childhood would be a different thing. As a child to chase a flown bubbles or a kitten sleeps in deep innocence after slurping milk, Happiness is relative. It's happiness because we want it to be. Gak bisa dipaksain juga.


kucing dengan banyak gaya. yang penting hepi :3

Kamis, 25 Agustus 2011

Movie Scenes

Midnight posting
Jam 01.45 AM dan gue belum tidur. Posisi di rumah dengan koneksi internet dan tv. Yap, banyak dukungan buat nikmatin malem lebih lama. Akhirnya dengan koneksi internet, gue iseng midnight browsing *bukan browsing yang itu **yang mana?!? ***yasudah

Gue suka nonton film, kadang (sok) ngutip beberapa quotes dari filmnya. Biasanya, ada beberapa scene dalam satu film yang bakal bikin film itu seru. Kebanyakan dari unforgettable scenes itu adanya di akhir sih, kayak klimaksnya. So, gue mau post beberapa scene film dari film favorit gue.
Here they go..

1. Remember Me

Scene favorit gue dari film yang dibintangi Robert Pattinson ini ada diakhir filmnya yang sekaligus jadi ending yang engga terkira banget. Filmnya dari awal membawa kita dengan background cerita kehidupan Tyler Hawkins yang broken home dan punya masalah kepribadian. Eh, tapi ga nyangka banget kalau ending filmnya bakal ngerangkum isi film seluruhnya dan benar-benar jadi ending. Music background dan quotes dari sang tokoh utama bikin endingnya lebih terasa dan gue pilih sebagai best scene dari film ini.




2. The Dark Knight

Dibuka dengan scene perampokan sampai peledakan rumah sakit, sequel film Batman yang disutradai Christopher Nolan ini emang thrilling banget. Belum lagi musiknya yang dikomposisi oleh Hans Zimmer. Film ini 'memaksa' kita buat ngikutin terus. Apalagi Joker yang dibintangi Heath Ledger itu beneran gilanya. Scene yang gue suka yaitu ketika Joker bawa truk ke tengah kota buat nyulik Harvey Dent yang ngaku jadi Batman buat menyelamatkan kota Gotham. Joker yang psychologically insane ini berhasil dihentikan oleh Batman. Well, truk kebalik hingga Batman yang diuji abis-abisan prinsipnya oleh Joker bikin scene ini jadi favorit gue.




3. Constantine

One of my favourite supernatural movies. Film yang diadaptasi dari Vertigo Comics ini nampilin Keanu Reeves sebagai detektif supernatural yang anti-sosial, John Constantine. Film ini gak menitikberatkan slasher scenes meskipun ada adegan iblis dan neraka. Pemahaman penonton yang lebih diajak main untuk bisa ngikutin cerita Constantine dalam mencegah Putra Iblis biar gak dateng ke dunia manusia di tengah umurnya yang sekarat. Meski beda dengan tampilan komiknya, Constantine di film ini masih tetep keren (sombongnya). Scene Constantine ketemu Lucifer yang jadi scene favorit gue.




4. Frequency

Mungkin fim ini gak terlalu terkenal. Nyari scenenya di YouTube aja lumayan susah. Film tahun 2000 yang dibintangi Jim Caviezel ini bercerita tentang komunikasi masa depan dan masa lalu yang berakibat perubahan jalan hidup seseorang. Seorang polisi dengan kehidupan pribadi yang rusak memiliki kesempatan buat ngobrol dengan ayahnya yang mati puluhan taun sebelumnya karena kebakaran. Bayangin aja, gimana kalo lo punya kesempatan buat ngobrol dan mencegah kematian ayah sendiri?! Dennis Quaid yang emang spesialis pemeran sosok ayah berhasil bawa suasana di film ini. Tentunya, scene favorit gue adalah ketika John (sang polisi) bisa ngobrol pertama kali dengan ayahnya lewat radio tua di rumahnya sendiri.




Overall, dua film action dan dua film drama yang gue pilih scene favoritnya. Sebenernya, film bagus gak harus ada scene favoritnya, kok. Gue pernah nonton film yang dari awal sampai akhir itu sama semua, tapi mood nonton lagi bagus dan nilai (ceileeh) yang ada di film itu gue dapet. Tapi kadang, ada film yang katanya bagus dan ditonton pas lagi engga mood itu bakal gak dapet banget sensenya. Anyway, ini cuma opini. Have fun! :D

Minggu, 14 Agustus 2011

Pembaharuan

Setiap manusia, hakikatnya ingin menjadi berbeda satu dan lainnya. Manusia ingin dikenal mempunyai identitas individual yang menjadi ciri khas mereka. Banyak sekali orang yang ingin dikenal baru dan pertama dalam bidangnya. Ya, menjadi pembaharu.

Berkaca pada masalah, yang kemudian menjadi bahan bakar kehidupan manusia, banyak sekali kelompok pembaharu di masa sekarang. Ohiya, masalah memang bahan bakar kehidupan. Proses penciptaan pemuas kebutuhan tercipta karena adanya kebutuhan itu sendiri. Makanan dibutuhkan karena ada rasa lapar. Tempat tinggal dibutuhkan karena spesifikasi tubuh manusia yang tidak tahan dengan ekstremitas Bumi lagi. Timbulnya beragam masalah menyebabkan timbulnya beragam solusi. Pemecahan masalah pun mengalami seleksi alam yang dipatok dari efisiensi dan efektivitas. Manusia pun berpikir memecahkan masalah. Manusia pun berkarya.

Kelompok pembaharu pun bermunculan dan mengambil titik fokus masing-masing untuk menjadi pembaharu dalam pemecahan masalah. Hal ini dapat dilihat dari timbulnya kelompok diskusi, para pengunjuk rasa hingga komunitas yang mengeksplorasi manusia maupun alam dengan cara yang berbeda untuk memecahkan masalah.

Lalu tidak ada yang salah dengan itu? Entahlah, salah atau benar merupakan pandangan subjektif. Kecuali firman Tuhan, objektivitas yang digembar-gemborkan kalangan tertentu mungkin hanya subjektivitas kolektif yang menggumpal. Kuantitas yang justru akhirnya mengkonversi subjektivitas menjadi suatu objektivitas. Hal ini adalah wajar karena sebagai seorang Muslim pun saya percaya bahwa kebenaran mutlak hanyalah milik Allah swt. Manusia dikaruniai ilmu-Nya yang tidak terbatas dalam bentuk tetesan-tetesan pembaharuan setiap zamannya. Dapat dikatakan bahwa penemuan, teori, hukum yang terus diperbaharui merupakan pemberian kasih sayang-Nya yang bertahap pada manusia.

Haha, terlalu panjang saya bercuap. Sebenarnya, ada pandangan pribadi saya mengenai masalah dan kelompok pembaharu tersebut. Masalah yang ada, dan akan tetap terus ada, merupakan akumulasi majemuk dari berbagai kebutuhan bahkan sesuatu yang tidak diinginkan. Lalu, kelompok pembaharu yang muncul sebagai pemecah masalah pun beragam jenisnya.

Dengan mengibaratkan masalah sebagai bola besar dan kelompok pembaharu sebagai tuas, maka proses pemindahan bola besar tersebut adalah proses pemecahan masalah. Berpikir sedikit logis, tuas untuk menggerakkan bola besar tersebut sebaiknya adalah sebuah tuas tunggal yang memiliki kekuatan besar. Kelompok pembaharu dengan ego masing-masing maka perumpaan yang muncul adalah tuas-tuas kecil yang mendorong si bola besar dari berbagai sisi. Bola besar tidak akan bergerak, karena tuas-tuas tersebut jamak dan tidak memiliki titik tumpu. Dengan menghilangkan asas dominasi, kelompok pembaharu seharusnya bertindak kooperatif dan bergabung menjadi tuas tunggal dengan titik tumpu yang jelas sehingga bola besar tersebut dapat bergerak.

Kenapa bola besar itu digerakkan? Bukan dipecahkan saja? Karena menurut saya, bola besar yang menjadi perumpamaan masalah itu dapat dikonversi menjadi energi. Dengan bertindak efektif dan efisien, masalah-masalah dapat diubah menjadi sesuatu yang bermanfaat oleh kelompok pembaharu dalam proses pemecahan masalahnya. Ya, bolehlah kita bilang proses konversi masalah menjadi bermanfaat, hehe. Karena, kelompok pembaharu dengan idealisme non-kooperatif dan hanya menjunjung eksistensi personal akan sangat lambat menangani masalah. Proses pemecahan masalah, eh konversi masalah bukan hanya hak sekelumit manusia. Jenis pembaharuan pun seperti penemuan, penelitian, ilmu pengetahuan, eksplorasi diri bukan hanya milik manusia-manusia tertentu. Hal ini harus ditularkan agar estafet pembangunan tidak terputus di satu generasi.

Memang sulit untuk memulai dan akan sulit lagi untuk mempertahankan. Membelakangkan ego dan apresiasi semata akan menumbuhkan semangat kekeluargaan yang bermanfaat. Prestasi hendaklah tidak diukur dari apresiasi semata karena apresiasi pasti akan membuntuti prestasi, meskipun yang anonim, dalam waktu yang berbeda saja.

Sebuah rangkaian dua puluh enam alfabet hasil renungan orang yang masih belajar semata. Retorika konseptual dengan sedikit bukti ilmiah. Gagasan, opini, ide atau apapun itu yang bersifat subjektif dan perlu dicurahkan. Semoga bermanfaat.

Rabu, 10 Agustus 2011

The Killing: Perception is Circumstantial

Liburan ini, gue ngisi hiburan dengan nonton TV Series. Bukan karena ga ada modal buat jalan-jalan dan sebangsanya, tapi kesempatan finansial yang belum berpihak. *skip. Postingan (sejenis) review TV series yang udah ditonton selama liburan ini bakal jadi yang pertama. Review ini amatir banget, jadi jangan timpuk bata (monitornya), gan!

Salah satu TV Series yang baru kelar gue tonton yaitu The Killing. Series ini tayang di AMC . Yap, judulnya bukan The Killings atau The Murders tapi The Killing karena satu season yang banyaknya 13 episod dengan 2-hour special premiere ini mengupas habis satu kasus pembunuhan. Cuma satu kasus? Ngebosenin dong? Awalnya gue juga (nyoba) mikir kaya gitu, tapi ternyata asik juga buat ditonton. Kalo di CSI atau crime series lainnnya, satu kasus pembunuhan bisa kelar satu episode maka The Killing menyajikan segala sisi dari kasus pembunuhan yang satu ini. Tagline series ini yang bikin penasaran : “Who killed Rosie Larsen?”

Di awali dengan terbunuhnya Rosie Larsen, anak perempuan satu-satunya dari pasangan Stan dan Mitch Larsen dan kakak dari dua bocah laki-laki. Keluarga ini pada awalnya sangat bahagia. Mereka punya perusahaan angkut muat barang. Namun sepeninggal Rosie, keluarga ini mulai pecah. Kita bisa liat efek psikis dari hilangnya satu anggota keluarga yang parah banget di series ini.

Kasus pembunuhan Rosie ditangani sama Detektif Linden, seorang single parent dengan satu anak laki-laki yang agak bandel. Det Linden dibantu sama Det Holder, seorang drug addict yang baru aja dipindahin ke Divisi Pembunuhan tempat Det Linden kerja. Ceritanya, Det Linden ini udah punya calon ayah yang baru untuk anaknya dan bakal pindah untuk kehidupan barunya tapi semua itu terganjal sama kasus pembunuhan Rosie Larsen ini.

Di sisi lain ada juga cerita pemilihan walikota yang menempatkan Darren Richmond sebagai calon yang turun naik pamornya gara-gara kasus Rosie Larsen ini juga. Ternyata, Councilman Richmond ini punya peranan penting dalam Kasus pembunuhan Rosie Larsen ini. Tersangka kasus pembunuhan Rosie Larsen ini juga variatif, mulai dari temen SMAnya, gurunya hingga tersangka terakhir yang engga disangka-sangka banget *tapi bukan kayanya. Diliatin juga keadaan perpolitikan dalam pemilihan walikota Seattle (yang jadi background series ini), terus kultur masyarakat Amrik terhadap ummat Muslim paska 9/11.

Sama kaya TV Series AMC yang hit sebelumnya yaitu The Walking Dead, post-apocalyptic TV Series yang engga hanya bercerita tentang zombie, The Killing menyajikan sisi lain dari kasus pembunuhan Rosie Larsen. Overall, series ini bakal ngebosenin buat orang yang engga terlalu suka detail cerita dan pengen ceritanya to the point beres. Soalnya, series ini banyak bercerita juga soal masalahnya Detektif Linden yang single parent, Councilman Richmond sebagai kandidat walikota, masalah keluarga Larsen hingga fakta-fakta dibalik siapa Rosie sebenernya. Spoiler aja, ending dari series yang menang lumayan banyak Emmy Awards ini bakal ngegantung dan kemungkinan pasti ada season selanjutnya. I’m all over excited to this series. FYI buat yang langganan TV Kabel, The Killing bakal tayang di FOX.

kaskus link
imdb review
minishares download :p

Sabtu, 09 Juli 2011

Ketika Menonton Konser

Beberapa hari yang lalu, gue bareng kakak tingkat SMA gue nonton konser Sheila On 7 di PRJ. Awalnya, gue ikut karena iseng dan pengen tahu gimana rasanya nonton live concert. Lagu-lagunya SO7 pun gak banyak yang hafal. Yowis, karena penasaran, jadilah gue tersesat dalam kebaikan *halah!

SO7 sendiri tampilnya malem banget. Sebelumnya ada dua artis pembuka, Lowbow (yang, maaf, cuma tau satu lagunya, itupun cuma judulnya doang) ama Cokelat dengan komposisi band yang baru. Keliatan banget, antusiasme pendatang tetap Dahsyat, Inbox dan sebangsanya itu (baca: penonton) terpusat pada band utama yang mau tampil yaitu Sheila On 7. Dua band pertama yang tampil, banyak penonton yang duduk santai, selonjoran. Bahkan, gue ama kakak tingkat gue aja maen gaple (rusak, jangan ditiru). Kita udah nangkring di lapangan dari abis Isya, dan SO7nya sendiri baru tampil jam sepuluh.

Disinilah semuanya bermula *jreeeng *chaiyya-chaiyya *eh, salah

Begitu MC mulai nyebutin nama Sheila On 7, penonton yang tadinya maen gaple, duduk santai, ngobrol dan lainnya pun langsung pada berdiri dan berteriak antusias.
Drum pun mulai dihentak-hentak, suara gitar dan bass bersahutan dan disusul suara asli dari pita suara Duta, sang vokalis. Penonton pun berteriak girang, memuja band yang lagi tampil di depan. Atmosfernya beda banget, satu lagu rock dari SO7 semuanya loncat-loncat bagai pocong tak bertangan tapi eksis di twitter, satu lagu slow lainnya bikin semua sendu, bahkan ada yang netesin air mata. Euforia yang dibawain SO7 pas nyanyi keren banget. Abis bawain lagu, Duta biasanya ngajak ngobrol penonton (walaupun dia cuma ngomong) tapi kesannya kaya ngajak ngobrol personal. Dia becandain Eros, Brian ama Adam di depan penonton. Semuanya ketawa seakan kita kenal deket ama orang-orang yang maen musik di depan. Padahal, Duta pasti gak kenal orang-orang di situ. Satu kalimat yang keren banget diucapin ama Duta "Merupakan sebuah kesenangan dari sebuah band kalo bisa melihat penontonnya ikut berjingkrak dan bertahan di lapangan sampai konser berakhir" (kurang lebih begitu, maklum, kualitas pendengaran gue gak HD HQ). MEN, itu bener banget! Wah, ini kayak sihir.

Lalu, itu semua ke gue?

Gue kebal akan semua itu karena pengetahuan gue yang dangkal tentang lagu-lagu SO7. Pas nada lagunya agak ngerock gue ikut jingkrak-jingkrak, dan ikut nyayi di bait-bait reffnya doang. Ikut nyanyi teriak? jangankan lagu yang gak hafal, lagu yang hafal aja bisa bernada jadi lagu lain kalo gue ikut nyanyi. Tapi, gue kebawa ama euforia fansnya SO7 atau Sheila Gank malem itu. Atmosfer konser. Komunikasi antara band ama fansnya. Keren!


live concert! beda ama nonton di YouTube!!!


Pas konser bubar, sekali lagi gue mikir kalo gue hafal lagunya SO7, ngikutin album-albumnya pasti gue bisa full ikut euforia di sana. Ah, tapi gak bisa juga kalo dipaksain. Abis liat konser SO7 (yang gratis, eh, bayar masuk PRJnya), gue pengen hadir dan nonton konser yang euforianya bisa gue rasain secara penuh. Konser dengan band yang udah gue ikutin lagu dan albumnya. Yap, gue pengen nonton LINKIN PARK di GBK pas September ini, tapi yah, apa daya. #liatkantong #liatkalender #pupussudah


Bukan Promo
Semoga Promotor, eh, Linkin Parknya, liat. Pengen nonton banget! #NGAREP
i'd like to feel the euphoria, real euphoria of a band that i've been listening since i didn't even know how to speak english, well (emang sekarang? ngoks)
#LPWillRockGBK