Sabtu, 16 Mei 2009

Sekelopak Arti

Jum'at,

menjadi hari yang bersahabat dengan awan yang meludahi bumi dengan tetesan airnya. Cuaca dingin juga menyeruak sore sehabis ashar di madani, membuat saya lebih nyaman untuk membaca Ramayana di ruang di mana buku-buku tersandar dan tertumpuk debu. Tempat sunyi di dekat jendela, dan ditemani rintihan angin dan suara tanah yang menerima tetesan hujan dengan relanya. Sempat terpikir, tak ada keluh dan erangan sang tanah, yang setiap hari diinjak, disiram air, ditimpa, dan banyak lainnya.
.
.
air seakan meluncur dari langit
melesakkan dingin dan menuntaskan dahaga bumi
.
.
Kekhusyuan saya membaca epik kuno india itu terusik oleh panggilan seorang teman yang memanggil nama saya. Dia tidak menyebutkan apa keperluannya. Saya melangkah keluar perpustakaan, membuat ukiran jejak menuju warung kecil di samping gedung kelas. Sebuah warung yang dapat memberikan sebersit kehangatan dalam selimut dingin sore ini. Lamunan dalam jejak kaki saya terhenyak oleh panggilan sang Ustadz yang berkata bahwa seseorang telah menunggu saya selama hampir setengah jam. Seseorang itu ayah saya.
.
.
hujan agak meredakan luncurannya
seakan tahu bahwa dahaga bumi sudah mereda pula
.
.
Saya melihat sosoknya. Seorang pria dengan kaos selengan, celana jeans yang digulung sebetis, rambut hitam yang agak kusam dan senyum dalam rautan wajah yang tidak asing bagi saya. Dan semuanya basah kuyup. Saya menghampirinya, terhenyak kaget dan merasa berdosa. Apalagi ketika saya melihat cairan cokelat bernama teh dan hangat telah habis tinggal setengah gelas lagi. Sudah hampir setengah jam Ayah menunggu. Saya tidak menelepon sebelumnya. Namun ayah dapat menjawab keresahan hati dan dahaga rindu saya. Ayah hadir menembus tetesan air langit dan dingin yang merasuk raga.
Berkali-kali saya meminta untuk mengganti baju dan celananya. Ayah menolak dan berkata bahwa ayah membawa baju ganti. Senyumnya masih terukir bersama tetesan air langit dan keringat.
.
Pertemuan itu tidak lebih dari lima belas menit. Ayah berkata bahwa ia harus pulang, dan saya tidak dapat menahannya. Sang mega masih kelabu dan sang surya masih bersembunyi dan beranjak pergi. Ayah pun pergi. Dengan sepeda motor dan pakaian yang basah kuyup. Gunung Karang yang terbalut awan kelabu menjadi latar kepergian ayah saya. Hujan masih menetes. Dan ingin rasanya mata anak tidak berbudi ini ikut meneteskan airnya.
.
Hujan mendengar dahaga bumi dan meneteskan airnya
Hujan juga mengurangi curahan airnya karena dahaga bumi sudah terpenuhi
Namun, apakah hujan dapat mendengar kalbu anak ini untuk menghentikan curahan airnya, demi ayah yang telah menembus air itu sebelumnya?
Hingga langit berkanvaskan hitam, hujan masih mencurahkan embun yang mencair itu.
Hingga hati dan mata ini sedih
.
.
.
Ayah saya sangat berarti bagi saya
keluarga saya juga
.
.
Ayah saya mengajarkan sesuatu secara tidak langsung. Semuanya saya rangkai dalam kalimat :

SOMETHING THAT MAKES YOU PROUD IS NOT WHAT YOU'VE GOT
BUT WHAT YOU'VE GIVEN

and you've proved it, Dad!

3 komentar:

  1. hm.. ane bisa rasain wktu itu.., wktu ada ayah nte, dan nte nya telat.. mukanya nte kliatan aneh,, sdih, feeling guilty gimana gtu..
    maap yah, ane juga udah nyoba nyari nte, tapi gak ketemu..
    smpe bikin ayah nte nunggu..,
    tp, gpp kok chan..
    nt udah jadi kbanggaan, buat ayah nte..
    buat ane juga..
    hehe, cheer up!

    BalasHapus
  2. ya ampyun......ical....
    buyut keren euy....(ujar stephanie)
    touching heart neh....
    amie ja ampe bangga gitu....
    hahahahahha......
    klo gitu saya ikutan bangga saja lah....
    keep struggle ya pa waket yang kadang2 jadi rois dadakan.....(gara2 mandat aneh....)
    peace......

    BalasHapus
  3. hmm....terharu diriku saat baca artikel dirimu...

    mungkin tetesan hujan yang menghiasi hari kala itu seperti cerminan hatimu, yang meninggalkan perasaan sesal yang membuat ayahmu menunggu. tapi yakinlah.. ayahmu pasti mengerti akan dirimu..
    :)

    BalasHapus