Minggu, 24 Mei 2009

Andai Saja . . .

My best friend gave me the best advice
He said each day's a gift and not a given right
Leave no stone unturned, leave your fears behind
And try to take the path less traveled by
That first step you take is the longest stride

If today was your last day
And tomorrow was too late
Could you say goodbye to yesterday?
Would you live each moment like your last?
Leave old pictures in the past
Donate every dime you have?
If today was your last day

Against the grain should be a way of life
What's worth the prize is always worth the fight
Every second counts 'cause there's no second try
So live like you'll never live it twice
Don't take the free ride in your own life

If today was your last day
And tomorrow was too late
Could you say goodbye to yesterday?
Would you live each moment like your last?
Leave old pictures in the past
Donate every dime you have?
Would you call old friends you never see?
Reminisce old memories
Would you forgive your enemies?
Would you find that one you're dreamin' of?
Swear up and down to God above
That you finally fall in love
If today was your last day

If today was your last day
Would you make your mark by mending a broken heart?
You know it's never too late to shoot for the stars
Regardless of who you are
So do whatever it takes
'Cause you can't rewind a moment in this life
Let nothin' stand in your way
Cause the hands of time are never on your side

If today was your last day
And tomorrow was too late
Could you say goodbye to yesterday?

Would you live each moment like your last?
Leave old pictures in the past
Donate every dime you have?
Would you call old friends you never see?
Reminisce old memories
Would you forgive your enemies?
Would you find that one you're dreamin' of?
Swear up and down to God above
That you finally fall in love
If today was your last day

.
.
.
Lagu itu dinyanyiin ama Nickelback yang judule If Today was Your Last Day, grup band asal Kanada. Waktu ane liat video klipnya, terlintas dalam benak ane sesuatu yang agak ganjil namun agak susah diucapkan. Just check my latest post, yaww
.
Death
sesuatu yang ternyata sangat dekat dengan kita, namun kita tidak pernah mengetahui kapan dia akan menjemput kita. Membawa kita dari hingar bingar dunia ini, dari kesedihan kita, dari kebahagiaan kita. Dari raut wajah orang yang kita benci dan orang yang membenci kita, dari senyum indah orang yang kita cintai dan orang yang mencintai kita. Dia tidak fana, tetapi dia tidak nyata...
.
.
Tentunya setumpuk kekhawatiran selalu menyesakkan dada mengingat jika waktu tersebut datang disaat waktu yang sangat kita harapkan masih kita hidup. Atau kita meratapi agar dia datang menjemput kita karena amarah, kesedihan, atau kebencian yang menghapus akal sehat dari metode berpikir kita.
Bayangkanlah,
awan masih akan tetap putih dan langit akan tetap biru
namun nyawa kita pasti akan meninggakan dunia ini
dan bayangkan lagi
jika kita tahu hari terakhir kita beralun napas di atas bumi
...
Anak ini pernah terhantam bayangan dan perasaan seperti itu
saat itu saya membayangkan seseorang berjalan di atas tanah berlumpur akibat air langit yang berceceran dalam bentuk tetesan. Namun, langit sudah terang dengan titik-titik putih yang gemerlap, meski sang bulat besar terang masih terselimuti kapas langit. Di sekitar seseorang itu tidak ada orang.
Orang itu menatap kedua tangannya, masih bergaris namun nampak lebih besar. Pikirannya bergumam bahwa apa yang telah saya lakukan dengan tangan ini ?
Baikkah ?
Burukkah ?
Jika hari ini adalah hari terakhirnya, dapatkah seseorang itu memberatkan kebaikkannya atau hanya mengimbangi keburukannya dengan kebaikannya.
Apa yang telah seseorang itu beri untuk ayah, ibu, adik, kakak, sahabat, tetangga, bahkan orang yang tidak dia kenal ?
sedangkan mereka telah berkontribusi hingga jantungnya masih berdegup
...
Pikiran itu juga datang ketika satu kelasnya mengalami keceriaan dan dalam keadaaan tertawa terbahak-bahak..
Senyum ceria tergambar jelas di wajah mereka, bahak mereka, keriangan mereka, kebersamaan mereka, suka mereka. Dan sekali lagi terlintas,
Apakah ketika seseorang dari kami pergi selamanya, masih adakah keriangan dan suka itu ?
Bagaimanakah keriangan mereka dengan kepergian seseorang itu ?
Mereka pasti berduka, namun duka itu akan ceria dan terobati seiring dengan revolusi oh bukan.. rotasi bumi malah. Dan tiada yang salah dengan itu.
..
Bagaimana jika seseorang telah tahu, atau diberi tahu bahwa ia memiliki satu hari terakhir untuk hidup pada saat keceriaan temannya ?
Haruskah seseorang itu memberi tahu dan menghapus keceriaan temannya dengan kabar itu ?
Kepedihan dan kebingungan karena suatu kepastian tergambar jelas dalam raut wajah orang itu. Sekali lagi tiada yang salah dengan orang itu. Baik perasaannya, apa yang ingin ia ucapkan, dan apa yang ia tidak bisa lakukan ?
.
Namun, apa yang terjadi jika itu adalah saya sendiri yang membayangkan dan merasakannya.
.
.
.
.
.
Pergolakan itu berujung pada sebuah konsep teologis yang dogmatis bahwa Allah swt yang menentukan hidup mati seseorang. Saya sebagai makhluk yang berlumur dosa dan masih ingin membalas jasa orang sekitar saya, hanya bisa memohon Khusnul Khatimah untuk kematian saya nanti.
Tapi itu nanti
dan saya tidak tahu kapan
saya hanya ingin mengingatnya
agar nurani ini sadar dan terenyuh
...
kematian bukan untuk ditakuti
tapi untuk diingat agar kehidupan di duniamu bermanfaat bagi semua

.
.
.
..
kmar, pake leptopnya gopar yang tumben layarnya bagus. Ditulis lewat tengah malem. Paojan lon tidur, angga h, gopar udah tepar, uwes balik k rmahnya, bush bru dteng.
ane ? kan ane yang nulis!!
dtulis ssudah nyari kord bwd blajar gtar n modip blog ni....
...

.....
.......
.........
...........

Sabtu, 16 Mei 2009

Sekelopak Arti

Jum'at,

menjadi hari yang bersahabat dengan awan yang meludahi bumi dengan tetesan airnya. Cuaca dingin juga menyeruak sore sehabis ashar di madani, membuat saya lebih nyaman untuk membaca Ramayana di ruang di mana buku-buku tersandar dan tertumpuk debu. Tempat sunyi di dekat jendela, dan ditemani rintihan angin dan suara tanah yang menerima tetesan hujan dengan relanya. Sempat terpikir, tak ada keluh dan erangan sang tanah, yang setiap hari diinjak, disiram air, ditimpa, dan banyak lainnya.
.
.
air seakan meluncur dari langit
melesakkan dingin dan menuntaskan dahaga bumi
.
.
Kekhusyuan saya membaca epik kuno india itu terusik oleh panggilan seorang teman yang memanggil nama saya. Dia tidak menyebutkan apa keperluannya. Saya melangkah keluar perpustakaan, membuat ukiran jejak menuju warung kecil di samping gedung kelas. Sebuah warung yang dapat memberikan sebersit kehangatan dalam selimut dingin sore ini. Lamunan dalam jejak kaki saya terhenyak oleh panggilan sang Ustadz yang berkata bahwa seseorang telah menunggu saya selama hampir setengah jam. Seseorang itu ayah saya.
.
.
hujan agak meredakan luncurannya
seakan tahu bahwa dahaga bumi sudah mereda pula
.
.
Saya melihat sosoknya. Seorang pria dengan kaos selengan, celana jeans yang digulung sebetis, rambut hitam yang agak kusam dan senyum dalam rautan wajah yang tidak asing bagi saya. Dan semuanya basah kuyup. Saya menghampirinya, terhenyak kaget dan merasa berdosa. Apalagi ketika saya melihat cairan cokelat bernama teh dan hangat telah habis tinggal setengah gelas lagi. Sudah hampir setengah jam Ayah menunggu. Saya tidak menelepon sebelumnya. Namun ayah dapat menjawab keresahan hati dan dahaga rindu saya. Ayah hadir menembus tetesan air langit dan dingin yang merasuk raga.
Berkali-kali saya meminta untuk mengganti baju dan celananya. Ayah menolak dan berkata bahwa ayah membawa baju ganti. Senyumnya masih terukir bersama tetesan air langit dan keringat.
.
Pertemuan itu tidak lebih dari lima belas menit. Ayah berkata bahwa ia harus pulang, dan saya tidak dapat menahannya. Sang mega masih kelabu dan sang surya masih bersembunyi dan beranjak pergi. Ayah pun pergi. Dengan sepeda motor dan pakaian yang basah kuyup. Gunung Karang yang terbalut awan kelabu menjadi latar kepergian ayah saya. Hujan masih menetes. Dan ingin rasanya mata anak tidak berbudi ini ikut meneteskan airnya.
.
Hujan mendengar dahaga bumi dan meneteskan airnya
Hujan juga mengurangi curahan airnya karena dahaga bumi sudah terpenuhi
Namun, apakah hujan dapat mendengar kalbu anak ini untuk menghentikan curahan airnya, demi ayah yang telah menembus air itu sebelumnya?
Hingga langit berkanvaskan hitam, hujan masih mencurahkan embun yang mencair itu.
Hingga hati dan mata ini sedih
.
.
.
Ayah saya sangat berarti bagi saya
keluarga saya juga
.
.
Ayah saya mengajarkan sesuatu secara tidak langsung. Semuanya saya rangkai dalam kalimat :

SOMETHING THAT MAKES YOU PROUD IS NOT WHAT YOU'VE GOT
BUT WHAT YOU'VE GIVEN

and you've proved it, Dad!