Jumat, 20 April 2012

Rumah Pagi

Saya selalu berpikir bahwa selalu akan ada cahaya diujung terowongan.

Selepas lelah, kita berharap sejuknya ramah. Meneduhkan raga yang terkuras habis tenaganya atau baru saja melewati hari dengan aktivitas luar biasa. Tetapi, kemarin-kemarin saya berpikir bahwa tidak selamanya ramahnya rumah akan selalu hadir. Akan ada suatu hari di mana kulminasi lelah kita tidak lagi berujung rumah tercinta, tetapi tempat lain yang kita perlu usahakan untuk ada ramah. Ya, kita tidak akan tinggal di rumah selamanya, bukan..

Ketika libur kuliah dan menyempatkan pulang, kenangan sepi itu sering menggores memori. Pukul 10 pagi ketika bapak pergi ke kantor dan dua orang adik pergi sekolah, nenek sudah meninggal dan kadang mama pun tidak ada di rumah untuk menjemput adik. Tinggallah saya seorang. Dalam sepinya pagi, mengingat dalam-dalam goresan keceriaan dulu.

Rumah yang berbeda keceriaannya. Bapak yang biasanya ditunggu kedatangannya karena membawa kue sepulang kerja. Pertengkaran saya dan Bayu yang selalu dilerai mama dan berakhir kita berdua (atau salah satu) tidur kelelahan. Omelan nenek yang kadang diikuti oleh kue (sederhana) buatannya yang nikmat ditengah hujan. Dan tentunya berkumpul di ruang tengah dengan satu buah televisi dan kehangatan keluarga.

Tapi roda kehidupan memang tidak dapat dan tidak boleh ditahan..

Semuanya berputar karena kita perlu berubah. Kita tumbuh. Kita hidup. Kita digantikan. Dan semoga saja, keberadaan kita dapat membuat hidup lebih baik.


Six years

We still like cats

We’re still brothers

who are trying to make their parents proud of them

in their very own way


...


and we've got an angel company :)