Senin, 21 Juni 2010

Catatan 19 Juni

Sebuah dedikasi sederhana untuk seorang teman yang seharusnya duduk di barisan depan paling kiri pada perpisahan. Seorang teman yang seharusnya maju pertama kali.

sekitar 3 tahun yang lalu
Dua anak berseragam putih biru, masih dengan celana pendek biru, mengobrol di koridor lantai 2 Hall A SMAN CMBBS. Ya, menghadap sebuah beranda besar dengan lukisan langit biru menghampar. Mereka mengobrol. Seusai percakapan itu, seorang yang putih dan berambut agak panjang dengan mata sipitnya menggoreskan pensil yang ia bawa di tembok beranda itu.
Goresan itu membentuk huruf yang dapat dibaca ”Fei-Tzunk”
Lalu seorang lagi, anak yang berambut agak klimis dan berkacamata, tidak mau kalah. Ia mengambil pensil temannya dengan gurau dan menggoreskan huruf yang dibaca ”Khonx-Khonx”
Mereka tertawa, tidak sadar vandalisme kecil mereka telah menjadi saksi atas kenangan yang akan mereka buat di sekolah itu. Mereka bertekad mengukir mimpi di sana. Di Cahaya Madani.

sekitar 2 Tahun lalu
Anak putih yang berambut agak panjang itu duduk di balkon jendela kamarnya. Sendirian ia menatap gelapnya malam dengan Gunung Karang yang menghadapnya. Ia termenung sepi dan sendiri. Si anak berambut klimis dan berkacamata itu menghampirinya. Tetapi ia bimbang. Ia dan teman lainnya harus pergi. Menghadapi suatu ujian untuk impian yang akhirnya tidak terwujud. Ia meninggalkan temannya. Sendirian. Dan itu sesal terdalam yang akan ia rasakan.

19 Juni 2010
Angkatan III SMAN CMBBS akan diwisuda pada pagi ini. Panggung beserta dekorasi telah disiapkan. Acara pun telah disusun. Dan dini hari itu kita melakukan gladi. Dan ada sesuatu yang kurang.

Kehadiran seorang teman lagi. Teman yang tidak akan pernah bisa hadir.

Yang seharusnya maju ke depan untuk pertama kali. Dikalungkan medali. Dan menerima bunga untuk diberikan pada kedua orangtuanya. Kemudian kembali duduk di barisan paling depan, di kiri. Tapi hari itu dia tidak ada. Karena tepat dua tahun yang lalu dia telah berpisah dengan teman-temannya. Perpisahan ruang dan waktu.

Sesal mengendap di hati anak berkacamata itu. Anak lelaki yang meninggalkan temannya karena mengejar impian yang akhirnya tidak terwujud. Anak lelaki berkacamata yang dengan keegoisannya telah meninggalkan temannya dalam kesendirian. Bayangan anak putih itu selalu melintasi pikiran anak berkacamata itu. Background perpisahan yang menuliskan tanggal 19 Juni, mengandung arti tersendiri.Anak yang telah dipercaya untuk membacakan Janji Alumni tahun ini, padahal dia sendiri adalah teman yang gagal.

Inilah hari dimana tepat dua tahun lalu dia pergi.
Dia seharusnya ada disini. Menjalani suka dan duka ketika menghadapi SDC, OSIS, dan persiapan UN. Dengan tawa dan candanya dia pasti bisa mengisi hari-hari kami dengan lebih ceria. Gagasan-gagasan kreatif yang ia hasilkan meski dengan gurauan khasnya. Hingga di hari ini. Di hari kami dikalungkan medali, dan dilepas untuk meniti jalan masing-masing. Hari ini kami menangis, mengenang masa indah dan buruk kami bersama, memohon maaf. Dan seharusnya dia disini. Tapi kenyataannya, dia tidak ada.

Kawan,
Bukan Nisan dan gundukan tanah itu yang mengingatkan kami padamu, tetapi tawa, canda, dan sifatmu yang akan terukir bersama sebagai bagian dari kami. Bukan hadiah atau persembahan yang kami dapat berikan, tetapi hanya doa yang bisa kami panjatkan untukmu. Kisahmu menjadi bagian dari sebuah memoar dengan judul Der Crux Generation.

Rabu, 02 Juni 2010

Semangat

Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan “falsafahnya”, kala mengajak seseorang mendaki gunung. “Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung.
Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak.
Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak.
Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman.
Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat.
Makanya yuk kita naik gunung.
Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa.
Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di P. Jawa ini,” kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.


Soe Hok Gie. Catatan Seorang Demonstran