Dua orang anak SMA sedang tertawa dibawah pohon rindang. Keduanya berbadan besar dan tegap, berwajah agak sangar namun tegas. Kesan pertama yang timbul mungkin adalah kedua penuntut ilmu itu berwibawa. Namun, tiba-tiba seorang bocah SMA kurus muncul tiba-tiba dari belakang dan mengagetkan mereka dengan berteriak "Kucing!!!". Kedua anak SMA yang besar itu gelagapan dan berteriak juga "Kucing!! Kucing ketabrak!! Kucing keselek terasi!!". Ya.. mereka latah.
Ternyata, di negeri Gajah Mada ini, Latah mulai menjadi fenomena yang secara tidak disadari mulai terjadi. Mulai dari situasi politik,perfilman, musik, hingga pergaulan. Secara kasat, Latah berarti mengikuti secara tidak sengaja. Dalam situasi politik, misalnya. Dalam pelajaran kewarganegaraan kelas XII SMA KTSP, Indonesia telah mengalami Masa Demokrasi Parlementer, Masa Demokrasi Terpimpin, Masa Demokrasi Orde Baru, hingga Masa Reformasi. Masa Demokrasi Parlementer diwarnai dengan banyaknya partai politik yang bermunculan dan Liberalisme yang terlalu tinggi sehingga hal-hal buruk yang terjadi dapat dilakukan dengan alasan kebebasan. Kekuasaan pemerintah terkikis dengan kekuasaan parlemen yang begitu luas. Dan kekacauan muncul karena pluralisme partai politik demi kepentingan golongan dan individu.
Lalu, Masa Demokrasi Parlementer berakhir dengan Masa Demokrasi Terpimpin. Di masa ini, kekuasaan parlemen mulai dibatasi. Partai politik juga dibatasi. Namun, kekuasaan pemimpin justru seperti diktator karena tidak adanya batasan.
Ideologi yang tidak sepaham dengan pemimpin diisukan harus "dilenyapkan". Akhirnya demokrasi terpimpin terguling oleh Rezim Baru yang diharapkan membawa suasana baru bagi rakyat Indonesia. Pada awalnya, demokrasi di Masa Orde Baru berjalan baik, Partai politik mulai bermunculan. Parlemen kembali berfungsi. Namun, hal itu tidak berlangsung terlalu lama. Fungsi Parlemen ternyata terbatas. Partai politik yang muncul haruslah sepaham dengan penguasa. Disinilah Latah Politik mulai muncul. Kekuasaan pemimpin di Masa Orde Baru hampir serupa dengan Kekuasaan pemimpin di Masa Demokrasi terpimpin. Pemimpin berkuasa dalam jangka waktu yang lama karena tidak adanya batasan. Hingga, Masa Orde Baru berakhir dengan pendudukan Gedung para petinggi negara oleh penuntut ilmu dan kaum intelek yang telah melek politik. Sekarang, masa Reformasi sudah mulai dimasuki. Namun, latah politik juga mulai terjadi.
Pemerintahan di masa sekarang mulai mencirikan masa demokrasi parlementer. Adanya sedikit perbedaan pendapat antara pemerintah dan parlemen, juga ditandai dengan munculnya partai-partai politik. Partai politik mulai bermunculan mulai dari yang Visi dan Misinya benar-benar jelas, hingga partai politik yang bermodalkan kuantitas massa yang banyak. Apakah ini benar-benar menjadi latah politik bagi pemerintahan Indonesia dan pemerintahan Indonesia kembali menjadi Masa Demokrasi Parlementer?
Dibidang hiburan, industri musik dan perfilman mulai mengalami gejala latah. Latah musik terjadi dengan munculnya One Song Only Band, (OSO Band). OSO Band akan terkenal dengan hanya satu lagu dan setelah itu redup entah kemana. Style para personil band juga terlihat mengalami kelatahan dengan gaya yang terlalu dipaksakan. Mungkin dengan kulit orang Jepang atau Eropa, gaya rambut yang unik itu cocok. Namun, dengan kulit sawo Rakyat Indonesia, rambut seperti itu dipertanyakan bentuknya. Perfilman Indonesia mulai dijangkiti latah dengan munculnya film-film HP (Hampir Porno). Dari judul saja, film itu sudah mencirikan unsur pornografi. Kita seolah-olah dipaksa mengatakan bahwa itu bukan film porno tapi "cuma nyerempeta aja". Ironisnya, film-film seperti itu muncul setelah UU Anti Pornografi dan Pornoaksi disahkan. Orang berpikir pasti tahu jawabannya.
Kembali ke kisah Dua Anak SMA tadi, tentu saja orang yang melihat dua Anak SMA yang latah itu akan tertawa. Apalagi orang yang latah itu berbadan besar, tegap, dan tegas. Bangsa yang besar, kaya akan sumber daya alam, terkenal sejarahnya tengah menderita Latah. Tentu bangsa-bangsa lain hanya akan tertawa, baik langsung maupun tidak langsung. Entah, apakah kita bangga dengan latah yang kita derita atau tidak. Sekali lagi, sebagai bangsa yang berpikir kita tidak hanya bisa mecerca dan memaki tanpa saran. Kemajuan negara menjadi harapan yang harus terwujud melalui peran masing-masing elemen bangsa. Maka dari itu, ketika kita sadar sesuatu yang buruk menjadi budaya kita maka kita coba hapuskan, namun jika budaya itu baik maka kita lestarikan. Kita sendiri yang dapat menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar